Mereka

Seperti biasa, gw bakal numpahin apa yang ada di otak gw tanpa peduli orang yang sial ngejogrok di sini ngerti apa nggak sama entri gw. Ah, peduli kodok dengan segala totolnya dah xP

Apa? Berawal dari keisengan terselubung gw yang lagi jengah buat ngotakatik forum yang biasa gw sambangi bernama indohogwarts dan gw mulai ngecek blog satu-satunya orang yang gw kenal d real world yang gw apal, Cubung. Yeaps, entri tentang ultahnya ngebuat gw pengen ngeblog lagi setelah sekian abad. Tapi, ketahan--seperti biasa, karena rasa malas plus waktu gw yang lebih terfokuskan buat acara jurusan. Lagi, hasrat menggebu itu timbul. Tepatnya saat gw menghabiskan waktu bareng oknum-oknum yang udah gw izinin masuk dalam zona gw--Barsing. Yeaps--lagi--selalu ada hal yang teramat berharga untuk diresapi juga dibagi tiap kami menghabiskan waktu bareng-bareng. Mereka, terlalu menarik sekaligus mengikat. Dan jujur, ngebuat gw yang dulu, bakalan posesif secara berlebihan ke orang-orang itu.

Pemikiran, cara bersikap menghadapi sesuatu, kedewasaan dan pilihan-pilihan yang mereka punya, buat, terlalu menarik--dan gw bertaruh semua poster book yang gw punya kalau mereka beda dari orang kebanyakan. Oke, mungkin g semua remaja nyaris kepala dua gila foya-foya dan jadi mesin pemusnah uang orang tuanya, babu cinta yang kerjaannya dialog sama kaca berjam-jam (persingkat? Bersolek), ratu atau raja drama yang doyan banget mengekspos kehidupannya secara berlebihan --yang enggak makan seharian aja udah malang banget kesannya (cih gw kenal orang-orang yang g makan sekian hari tapi g selebay itu kok). Dan emang bener kalau ada yang bilang pribadi tiap orang itu unik, tergantung dari sudut pandang mana lo ngeliatnya. Tapi, sekali lagi, mereka beda--tambahkan italic, bold dan underline kalau mau.

Anggap aja, background musik yang kami--ralat, mereka anut yang ngebuat suatu perbedaan itu. Musik yang langka banget dijamah remaja nyaris kepala dua kek kami yang biasa disebut musikalisasi puisi. Tau? Atau pernah denger istilah itu, mungkin? Gw g heran kalau pada gatau--atau sekali pun tau, gw g yakin apa yang ada di pikiranlo itu musikal beneran atau malah dramatisasi yang nyadur nama. Yeah, g heran. Kebanyakan orang yang suka musik pasti pengalihannya band dengan segala ke-in-annya di masa kini, bukan musikal (malay ngetik musikalisasi puisi--atau gw ketik MP aja buat selanjutnya?) kek segelintir orang yang gw kenal itu. MP ngasih banyak hal lain dari sekedar genjrang-genjreng, tingtung-tingtung, dan dungtak-dungtak. Penghayatan lain yang nyaris selalu tersirat dari tiap kata di puisi tersebut--bukan kata-kata cinta najis, cemeh bin menye-menye yang bikin otak bebal karena cuma bisa ngeluh tanpa mikir. Justru kamilah (hitung gw untuk saat ini, sekali pun gw bukan pemusik, gw bagian dari mereka) yang harus menelaah maksud dari tiap kata yang tercetak di tiap puisi itu--untuk pemahaman agar pengintepretasian tidak menjadi ngawur. Sulit, jujur saja. Para penyair itu tak jarang mengenakan kata-kata bias yang mengecoh. Beruntunglah kami memiliki seorang pelatih yang dapat menjelaskan tiap makna tersirat yang tercetak.

Dari situ, pemikiran kami mulai terbentuk. Bukan sekedar menerima, tapi dituntut untuk menelaah, meresapi lalu memaknai. Bukan hanya puisi, tapi segalanya, kehidupan. Simpel? Jelas nggak. Nggak kek lagu cinta cemeh yang kalau isinya nggak berbunga-bunga, palingan putus asa sampe liang lahat--atau mentok-mentoknya nyeritain orang-orang sok tegar yang dibegoin sama cinta. Ada suatu proses di tiap puisi--yang endingnya g melulu soal happy end or sad end, tapi sesuatu hasil dari proses tersebut. Kalau diibaratin sama seseorang, sebut aja dia menjadi orang yang lebih matang atas apapun pencapaiannya--atau bisa jadi, pemahaman atas sesuatu yang selama ini dicari? Who knows.

Sok tau? Silakan aja sebut gw kek gitu toh gw emang baru tiga tahun lebih dikit belajar puisi. Tapi emang itu yang gw rasain. Emang hal itu yang menjadi praduga lain atas keberbedaan yang mereka miliki--selain dari pelajaran yang dicuri secara terselubung dari para abang-abang penggelut kesenian lain yang udah ngerti kehidupan jauh lebih baik. Hasilnya? Pola pikir yang jauh dari kata manja, kedewasaan dalam menghadapi sesuatu, sikap saling menghargai satu sama lain--walau sedang sekhilaf apapun orang tersebut.

Menarik, lagi-lagi kata itu yang terlintas dalam benak gw--selain jutaan rasa syukur karena gw udah dipertemukan orang-orang macam mereka.

"Kita temenan bukan karena siapa elo, Tik. Tapi karena elo adalah elo."